PERKUMPULAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MITRA SEJAHTERA

PendahuluanPersetujuan diam-diam atau silent consent menurut hukum perdata pada intinya adalah pernyataan kehendak yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain dimana yang bersangkutan tidak menyatakan keberatan/penolakan secara tegas atas tindakan yang dilakukan oleh pihak tersebut kepadanya sekalipun maksud tersebut sudah diberitahukan. Dengan kata lain, tidak adanya gestur penolakan yang secara tegas terhadap suatu tindakan hukum menyebabkan pihak tersebut dianggap menyetujui tindakan yang dilakukan terhadapnya.Mengenai dasar hukum persetujuan secara diam-diam ini dapat ditemui pada Pasal 1347 Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang berbunyi:  Hal-hal yang, menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.Mengenai Pasal 1347 KUHPerdata tersebut, Prof. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (2002: 40) menyatakan pendapatnya sebagai berikut:…hal-hal yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Oleh karena dianggap sebagai diperjanjikan atau sebagai bagian dari perjanjian sendiri, maka hal yang menurut kebiasaan selalu diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.Dalam prakteknya, persetujuan diam-diam ini sudah diterapkan oleh peradilan Indonesia, misalnya pada Putusan Mahkamah Agung No. 2178 K/Pdt/2008 yakni perkara antara PT. Dwi Damai dengan PT. Philips Indonesia tentang pendistribusian dan penjualan produk-produk bermerek Philips.Persetujuan diam-diam dalam perkara arbitraseDengan telah diterapkannya persetujuan diam-diam dalam praktik peradilan di Indonesia, hal yang sama tentunya juga berlaku dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase sebagai penyelesaian perkara di luar pengadllan negeri. Dalam hal ini seringkali ditemui bahwa sekalipun telah terikat suatu perjanjian yang memuat klausula arbitrase, umumnya pihak termohon arbitrase kerap bersikap resisten dan mempermasalahkan hal-hal teknis dalam persidangan arbitrase sebagai dasar untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase, padahal dalam persidangan arbitrase yang dijalaninya dahulu, ihak termohon arbitrase tidak menyatakan keberatannya atas hal-hal teknis tersebut, contohnya sebagaimana pada kasus-kasus berikut:Kasus pertama. Sekalipun relaas pemberitahuan arbitrase telah sampai kepada Termohon, yang bersangkutan bersikap diam, tidak melakukan tanggapan atas korespondensi yang disampaikan lembaga arbitrase, tidak melakukan pembayaran biaya arbitrase, tidak hadir pada persidangan sampai perkara diputus. Namun di kemudian hari, yang bersangkutan mengajukan pembatalan putusan arbitrase dengan alasan menolak kompetensi arbitrase untuk memeriksa perkara;Kasus kedua. Pemohon arbitrase dalam petitumnya memohon putusan ex aequo et bono dan termohon arbitrase sampai dengan kesimpulan diajukan tidak mengajukan penolakan atas petitum pemohon tersebut. Namun demikian termohon kemudian mengajukan pembatalan putusan arbitrase dengan alasan majelis arbitrase melanggar asas keadilan dan kepatutan dalam putusannya;Kasus ketiga. Pemohon arbitrase bemaksud mengubah prosedur hukum beracara dari yang menggunakan ICC Rules menjadi Peraturan Prosedur BANI. BANI sebagai lembaga arbitrase yang dipilih para pihak sudah berulangkali mengirimkan korespondensi kepada termohon, namun tidak pernah ditanggapi. Perkara akhirnya dilanjutkan menggunakan Peraturan Prosedur BANI dan permohonan pemohon arbitrase dikabulkan sebagian. Setelah putusan arbitrase didaftarkan di pengadilan negeri kemudian termohon arbitrase mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase dengan alasan Majelis Arbitrase BANI melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.Ketiga perkara di atas sungguh-sungguh terjadi dan di tingkat banding Mahkamah Agung, Majelis Hakim Agung menolak ketiga permohonan pembatalan putusan arbitrase di atas dengan alasan permohonan tersebut tidak memenuhi alasan-alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa (“UUAAPS”).Menurut hemat penulis, pertimbangan Majelis Hakim Agung yang menolak ketiga permohonan pembatalan putusan arbitrase di atas telah tepat karena telah sejalan dengan Pasal 70 UUAAPS, adanya sikap diam dari termohon baik terhadap permohonan dari pemohon arbitrase maupun dari kebijakan lembaga arbitrase sejatinya merupakan sikap persetujuan diam-diam dari yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan 1347 KUHPerdata di atas.Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahwa Pasal 4 ayat (1) UUAAPS telah mengatur bahwa:Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.Kesimpulan:Persetujuan diam-diam sebagaimana diatur dalam KUHPerdata dapat juga diterapkan dalam proses arbitrase. Dengan demikian, apabila terdapat sikap diam dari termohon dalam proses arbitrase maka sesuai dengan Pasal 1347 KUHPerdata jo. Pasal 4 ayat (1) UUAAPS di atas, termohon arbitrase diartikan telah tunduk pada setiap kebijakan yang diambil oleh lembaga arbitrase dan wajib menjalankan kebijakan tersebut dengan itikad baik.

Tags

WhatsApp Google Map

Safety and Abuse Reporting

Thanks for being awesome!

We appreciate you contacting us. Our support will get back in touch with you soon!

Have a great day!

Are you sure you want to report abuse against this website?

Please note that your query will be processed only if we find it relevant. Rest all requests will be ignored. If you need help with the website, please login to your dashboard and connect to support