PERKUMPULAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MITRA SEJAHTERA

Masalah kejahatan pada dasarnya sudah ada semenjak manusia itu ada di permukaan bumi ini, atau dengan perkataan lain dapat disebutkan bahwa “kejahatan itu adalah setua dan seumur dengan umat manusia di alam jagad raya ini”, bahkan dalam perkembangan selanjutnya dewasa ini suatu peristiwa kejahatan sering dilakukan bukan hanya dilakukan oleh satu orang pelaku saja melainkan dilakukan oleh lebih dari seorang pelaku yang dilakukan secara bersama-sama.Untuk melindungi serta menyelamatkan berbagai macam kepentingan yang ada di dalam masyarakat dari berbagai bentuk kejahatan dan demi untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan sejahtera maka diciptakanlah berbagai aturan-aturan atau norma-norma didalam kehidupan masyarakat yang diantaranya adalah norma hukum. Dalam hal ini adalah norma hukum pidana atau yang dikenal sebagai hukum pidana.Adapun yang dimaksud dengan hukum pidana menurut Moeljatno adalah :“Bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk :1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dpat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.4. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.5. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksnakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.Hukum Pidana adalah merupakan aturan yang akan diterapkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan telah terbukti kesalahannya di muka persidangan. Akan tetapi apabila si pelaku dalam melakukan tindak pidananya bukan hanya dilakukannya sendiri melainkan dilakukan lebih dari dua orang bersekutu dan berlanjut, maka penerapan hukum pidana bagi yang bersangkutan secara teoritis harus senantiasa dihubungkan dengan “Ajaran Penyertaan dan teori Gabungan Tindak Pidana”.Adapun ancaman yang akan dijatuhkan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana dinamakan sanksi atau hukuman atau pidana yaitu “reaksi atas delik dan ini berujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan Negara kepada pembuat delik itu ”Dengan demikian maka setiap orang yang telah melanggar aturan atau hukum pidana (yang memang telah ditetapkan terlebih dahulu aturannya) sudah barang tentu dapat dipidana. Akan tetapi ternyata menurut ilmu pengetahuan hukum pidana juga ditegaskan :“Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana tidak selalu dapat dipidana. Hal ini tergantung dari apakah orang itu dalam melakukan tindak pidana itu mempunyai kesalahan atau tidak?. Sebab untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang itu tidak cukup dengan dilakukanya tindak pidana saja tetapi selalin daripada itu harus ada pila kesalahan, atau kata Moeljatno sikap batin yang dapat dicela”.Dalam hal ini dikenal suatu Asas Tiada pidana tanpa kesalahan Geen straf zonder schuld (Belanda), One schuld keine strafe (Jerman), Actus non facit reum, nissi mens sit rea (Latin), An act does not make a person guilty, unless the mind is gulty (Inggris). Hal ini sejalan pula dengan apa yang dinyatakan oleh Pompe yang disitir S.R. Sianturi, yang menyatakan bahwa hubungan petindak dengan tindakannya ditinjau dari sudut kehendak ( de wil) kesalahan petindak adalah merupakan bagian dalam (binnenkan) dari kehendak tersebut.Apa yang dimaksud dengan kesalahan, adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Roeslan Saleh yaitu keadaan psikis (bathin) orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukannya yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi (Simins). Sedangkan Moeljatno dengan mensitir pendapat Pompe menyatakan bahwa ada kesalahan jika perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat dapat dicela dan dapat dihindari.Yang harus diperhatikan untuk adanya kesalahan, adalah :a. keadaan bathin (psykhis) dari orang yang melakukan perbuatan tersebut, danb. hubungan antara keadaan bathin itu dengan perbuatan yang dilakukan sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatannya tersebut.Hal sebagaimana ternyata dalam point (a), hubungannya mengenai keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan dalam Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana merupakan persoalan yang lazim disebut “masalah kemampuan bertanggung jawab”, sedangkan hal yang ternyata dalam point b, mengenai hubungan antara keadaan bathin itu dengan perbuatan yang dilakukan merupakan “masalah kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf, sehingga mampu bertanggung jawab.KUHP tidak memberikan rumusan mampu bertanggung jawab. Hanya dalam Memmorie van Toelichting (MvT) (penjelasan) diterangkan secara negative bahwa “tidak mampu bertanggung jawab” (ontoerekenings vatbaarheid) dari pembuat adalaha. dalam hal pembuat tidak diberi kebebasan memilih antara berbuat atau tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diperintah (dalam hal perbuatan yang dipaksa/ dwanghandelingen).b. dalam hal pembuat ada di dalam keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak mengerti akibat perbuatannya itu (nafsu patologis/ pathologische drife, gila, pikiran tersesat dan sebagainya).Keterangan secara negatif tentang kemampuan bertanggung jawab dalam MvT pembentuk undang-undang mengambil sebagai pokok pangkal bahwa pada umumnya orang-orang mempunyai jiwa/ batin yang normal/sehat, sehingga mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Hanyalah apabila ada keragu-raguan tentang kemampuan bertanggung jawab ini pada terdakwa, maka kemampuan bertanggung jawab ini harus dibuktikan.Menurut Van Hamel, orang mampu bertanggung jawab harus memenuhi tiga syarat yaitua. mampu untuk menginsyafi makna dan akibat sungguh-sungguh dari perbuatannya sendiri.b. Mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat.c. Mampu untuk menentukan kehendaknya dalam melakukan perbuatannya.Menurut Simons, mampu bertanggung jawab adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.Menurut Moeljatno bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada :a. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.b. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.Tersebut butir a. merupakan faktor akal (intellectual factor) yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dengan yang tidak. Tersebut butir b. merupakan faktor perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.Selanjutnya dapat dikatakan bahwa orang yang tidak mampu bertanggung jawab (ontoerekeningvatsbaarheid) adalah orang yang keadaan jiwa/bathinnya tidak seperti apa yang dirumuskan dimuka. Keadaan jiwa/bathinya tidak normal/sehat itu menurut pasal 44 KUHP disebabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit. Tidak mampu bertanggung jawab menurut Pasal 44 KUHP merupakan alasan peniadaan kesalahan (alasan pemaaf) yang dibedakan dengan alasan pemaaf lain seperti diatur di Pasal 48 KUHP (daya paksa), Pasal 49 ayat (2) KUHP (bela paksa lampau batas), Pasal 51 ayat (2) KUHP (perintah jabatan tidak sah). Kalau dalam tidak mampu bertanggung jawab fungsi jiwa/bathinnya tidak normal, sedangkan dalam alasan pemaaf lainnya, fungsi jiwa/bathinnya tidak normal itu disebabkan keadaan dari luar, sedangkan organ jiwa bathinnya adalah normal.Untuk menentukan ketidakmampuan bertanggung jawab sehingga ia tidak dapat dipidana ada tiga system :a. Sistem deskriptif (menyatakan), yaitu dengan cara menentukan dalam perumusannya itu sebab-sebabnya tidak mampu bertanggung jawab.b. Sistem normative (menilai) yaitu dengan cara hanya menyebutkan akibatnya yakni tidak mampu bertanggung jawab tanpa menentukan sebab-sebabnya.Yang penting di sini adalah apakah orang itu mampu bertanggung jawab atau tidak ? Jika dipandang tidak mampu bertanggung jawab, maka apa yang menjadi sebabnya tidak perlu dipikirkan lagi.c. Sistem deskriptif-normatif yaitu dengan cara gabungan dari cara butir a. dan butir b. tersebut, yakni menyebutkan sebab-sebabnya tidak mampu bertanggung jawab. Dan hal ini harus sedemikian rupa akibatnya hingga dipandang atau dinilai sebagai tidak mampu bertanggung jawab.Dari ketiga sistem tersebut di atas, sistem deskriptif-normatif inilah yang dianut oleh KUHP dimana dengan cara gabungan ini maka untuk dapat menentukan terdakwa tidak mampu bertanggung jawab dalam praktek diperlukan adanya kerjasama antara psikiater dengan hakim. Psikiater yang berhak dan mampu untuk menentukan ada atau tidaknya sebab-sebab yang ditentukan dalam undang-undang sedangkan hakim yang menilai apakah karena sebab-sebab itu terdakwa mampu bertanggung jawab atau tidak. Dalam hal menerapkan pertanggung jawaban pidana bagi seorang pelaku pada dasarnya secara teoritis dikaitkan dengan Teori atau ajaran Pertanggung Jawaban Pidana.Contoh kasusKetentuan umum mengenai perumusan pengertian pencurian terdapat dalam pasal 362 KUHP. Barang siapa mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain dengan maksud untuk memiliki barang tersebut dengan melawan hukum, dipidana karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 900,00.UNSUR-UNSUR PENCURIAN DENGAN DEMIKIAN ADALAH:1. Pertama-tama harus ada perbuatan “mengambil” dari tempat dimana barang tersebut terletak. Oleh karena didalam kata “mengambil” sudah tersimpul pengertian “sengaja”, maka undang-undang tidak menyebutkan “dengan sengaja mengambil”. Kalau kita mendengar kata “mengambil” maka pertama-tama yang terpikir oleh kita adalah membawa sesuatu barang dari suatu tempat ke tempat lain. Dalam contoh berikut timbul permasalahan apakah unsur “mengambil” telah dipenuhi sehingga perbuatan yang dimaksud dapat dikualifisir sebagai pencurian? A berdiri di pasar hewan. Di sampingnya ada seekor sapi yang diikat milik B yang pada waktu itu sedang makan nasi di sebuah warung. Kemudian datang C yang mengira bahwa sapi tersebut milik A. C menawar sapi tersebut dengan sejumlah harga dan A langsung menerima uang harganya. Karena mengira bahwa dia membeli dari pemilik yang sah, C lalu menuntun sapi tersebut pulang ke rumah. Apakah A maupun C dapat dituntut karena pencurian? Terang dalam hal ini tidak ada unsur “mengambil” dari pihak A. menurut Langemeyer (dalam bukunya Prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H.) A dapat dipersalahkan “menyuruh mencuri” (“doen plegen”) sesuai dengan ketentuan pasal 55 KUHP. C dianggap sebagai manus ministra yang mengambil sapi tersebut karena mengira miliknya A, oleh karena mana dia tidak dapat dipertanggungjawabkan. “Manus ministra adalah orang yang berbuat tanpa kesengajaan, kesalahan atau pertanggungjawaban, disebabkan:§ Karena dia tidak mengetahui§ Karena dia disesatkan atau§ Karena adanya paksaanManus ministra tersebut, sebagai pelaku langsung tidak dapat dipidana, karena sebenarnya kita hanya merupakan alat tak berkehendak (“Willoos werktuig).2. Unsur “barang” yang diambil.Barang yang diambil itu harus barang yang berwujud, sekalipun tenaga listrik melalui interpretasi extensive dapat menjadi objek pencurian. Selain itu barang tersebut harus dapat dipindahkan (“verplaatsbaar”). Pembentuk undang-undang memang sengaja menghindari penggunaan istilah “tidak bergerak” (“onroerend”). Dengan menggunakan istilah “barang yang dapat dipindahkan” dan menghindari penggunaan istilah “tidak dapat bergerak”, maka lalu dimungkinkan adanya pencurian barang-barang yang karena sifatnya tak dapat bergerak tapi kemudian dengan memisahkannya lalu dapat dipindahkan. Misalnya pencurian pohon, yang tadinya tidak dapat bergerak, tapi setelah ditebang lalu dapat dipindahkan.3. Unsur Tujuan Memiliki Barang Secara Melawan HukumPelaku harus mengetahui, bahwa barang yang diambil itu baik untuk keseluruhan maupun untuk sebagian adalah milik orang lain. Sekalipun pencurian biasanya dilakukan untuk memperoleh keuntungan (“winstbejag”). Yang menjadi pertanyaan adalah: “Kapan telah terjadi tindakan pemilikan “toeeigening”)? Apakah sudah ada pemiliknya, apabila si pelaku telah mengambil barang milik orang lain. Dalam hal yang demikian maka setiap tindakan yang demikian rupa sehingga pelaku memperoleh penguasaan sepenuhnya atas barang yang bersangkutan hingga penguasaan hilang sama sekali bagi pemilik yang sebenarnya.“GEQUALIFICEERD DIEFSTAL” (Pencurian dengan pemberatan)Berbeda dengan pasal 362 KUHP, maka pencurian yang diatur dalam pasal 363 KUHP dan pasal 365 KUHP dinamakan: “Pencurian dengan kualifikasi” (gegualificeerd diefstal”). Prof. Wirjono menterjemahkannya dengan “pencurian khusus” sebab pencurian tersebut dilakukan dengan cara-cara tertentu. Penulis lebih setuju istilah yang digunakan R. Soesilo (dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yaitu “pencurian dengan pemberatan”, sebab dari istilah tersebut sekaligus dapat dilihat bahwa, karena sifatnya maka pencurian itu diperberat ancaman pidananya.Mengenai hal ini pasal 363 KUHP antara lain menyebutkan.A. Pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun :i) Pencurian ternakii) Pencurian pada waktu kebakaran, peletusan, bencana banjir, gempa bumi atau gempa laut, peletusan gunung api, kapal karam – kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan, pemberontakan dalam kapal atau bencana perang;iii) pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah kediaman atau pekarangan yang terutup dimana terdapat rumah kediaman dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa setahu atau bertentangan dengan kehendak yang berhakiv) Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-samav) Pencurian yang untuk dapat masuk ke tempat kejahatan atau untuk dapat mengambil barang yang dicuri itu dilakukan dengan jalan membongkar (“braak”), mematahkan (“verbreking”) atau memanjat (“inkliming”) atau memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.B. Jika pencurian tersebut pada no. 3 disertai dengan salah satu hal tersebut pada no. 4 dan 5 maka dijatuhi pidana penjara selama-lamanya 9 tahun.Untuk jelasnya kami uraian sebagai berikut:Ad.(i) : Pencurian ternak (“vee”)Di negeri Belanda yang merupakan unsur yang memberatkan adalah pencurian dari padangrumput, tempat penggembalaan “weide”). Berhubung di Indonesia ini ternak merupakan hewan piaraan yang sangat penting bagi rakyat, maka pencurian ternak sudah dianggap berat, tak peduli dicuri dari kandang ataupun dari tempat penggembalaan.Ad.(ii) : Dalam butir 2 dari pasal 363 KUHP juga disebut pencurian pada waktu ada bencana, kebakaran, dan sebagainya. Alasan untuk memperberat ancaman pidana pada pencurian semacam ini adalah karena timbulnya kericuhan, kekacauan, kecemasan yang sangat memudahkan pencurian. Barang yang dicuri tidak perlu barang-barang yang terkena bencana, tetapi segala macam barang yang karena adanya bencana tersebut tidak/kurang mendapat penjagaan. Si pelaku harus menggunakan kesempatan itu untuk mempermudah pencuriannya.Ad.3 : Macam unsur pemberatan yang ketiga adalah pencurian pada malam hari di dalam sebuah rumah kediaman, dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa setahu atau bertentangan dengan kehendak yang berhak. Apa yang dimaksud dengan “malam hari” sudah jelas, yaitu sebagaimana dikatakan oleh pasal 98 KUHP, yang mengatakan:“Malam berarti masa antara matahari terbenam dan matahari terbit.”Di negeri Belanda perumusannya agak lain (pasal 311 WvSN) yaitu: “pencurian pada waktu istirahat malam” (voor de nachtrust bestemde tijd).Ad.4 : Unsur pemberatan ke empat yaitu: apabila pencurian itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih (“twee of meerverenigde personen”).Istilah “bersama-sama” (“verenigde personen”) menunjukkan, bahwa dua orang atau lebih mempunyai kehendak melakukan pencurian bersama-sama. Jadi di sini diperlukan unsur, bahwa para pelaku bersama-sama mempunyai kesengajaan (“gezamenlijk opzet”) untuk melakukan pencurian. Tidak cukup apabila para pelaku itu secara kebetulan bersama-sama melakukan pencurian di tempat yang sama. Apabila seorang pencuri melakukan pencurian di suatu tempat, kemudian seorang pencuri lain ingin melakukan juga di tempat tersebut tanpa sepengatahuan pencuri yang pertama, maka hal ini tidak pula termasuk istilah mencuri bersama-sama sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 363 (1)butir 4 KUHP.Ad.5 : Unsur pemberatan kelima adalah dengan menggunakan cara-cara:v membongkar (“braak”)v mematahkan (“verbreking”)v memanjat (“inklimming”);v memakai anak kunci palsu (“valse sluetel)v memakai perintah palsu (“valse order”)v memakai pakaian jabatan palsu (“valse kostuum”).Yang termasuk “membongkar dan mematahkan” adalah setiap perbuatan dengan kekerasan yang menyebabkan putusnya kesatuan sesuatu barang, baik untuk membongkar maupun mematahkan diperlukannya sesuatu barang, sehingga menyingkirkan palang pintu saja belum berarti membongkar atau mematahkan.PENCURIAN RINGAN (Pasal 364 KUHP)Pencurian ringan ini berbeda dengan macam pencurian lainnya; misalnya: pencurian dengan unsur-unsur pemberatan (“gequalificeerd diefstall”). Sebab pasal pencurian barang-barang yang nilainya sangat rendah (yaitu semula hanya untuk barang yang tidak bernilai lebih dari Rp; 25,00) orang tak seberapa merasa sifat jahat perbuatannya. Misalnya karena merasa haus setelah kerja di terik matahari maka diambillah sebuah mangga atau kelapa dari halaman seorang tetangga. Oleh karena itu ancaman pidananya hanya minimum 3 bulan penjara atau denda setinggi-tingginya Rp. 60,00.Namun dengan perkembangannya waktu, maka harga barang-barangnya naik, hingga praktis hampir tidak ada barang yang harganya kurang dari Rp. 25,00. Oleh karena itu dalam tahun 1960, yaitu dengan Undang-undang no. 16/Prp/1960 Pemerintah menaikkan nilai Rp. 25,00 tersebut menjadi Rp. 250,00. Dan sejalan dengan itu ancaman pidana denda dalam KUHP dinaikkan 15 kali.PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (Ps. 365 KUHP)Pasal 365 KUHP menyebutkan di antaranya:1) Diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 9 tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya:2) Diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun:Ke 1 : Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalanKe 2 : Jika peruatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutuKe 3 : Jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu,Ke 4 : Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat3) Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun, jika peruatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.

Tags

WhatsApp Google Map

Safety and Abuse Reporting

Thanks for being awesome!

We appreciate you contacting us. Our support will get back in touch with you soon!

Have a great day!

Are you sure you want to report abuse against this website?

Please note that your query will be processed only if we find it relevant. Rest all requests will be ignored. If you need help with the website, please login to your dashboard and connect to support