PERKUMPULAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MITRA SEJAHTERA

Perjanjian baku adalah konsep janji-janji tertulis. Disusun tanpa membicarakan isinya dan lazimnya dituangkan ke dalam sejumlah tak terbatas perjanjian yang sifatnya tertentu. Perjanjian baku juga merupakan perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.Pasal 1313 KUH Perdata: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.Perjanjian baku mengandung sifat yang banyak menimbulkan kerugian terhadap konsumen. Perjanjian baku yang banyak terdapat di masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain:Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah.Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokat. Adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaries atau advokat yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda jenis ini disebutkan contract model.Walaupun belum dilakukan penelitian secara pasti, saat ini sebagian besar perjanjian dalam dunia bisnis berbentuk perjanjian baku/perjanjian standar. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang isinya telah diformulasikan oleh suatu pihak dalam bentuk-bentuk formulir.Terdapat beberapa pendapat dan alasan mengenai kedudukan perjanjian baku itu. Sluijter berpendapat: “perjanjian baku bukan lagi perjanjian. Pelaku usaha sudah bertindak sebagai pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgever)”. Sebaliknya Pitlo berpendapat: “perjanjian baku itu memang melanggar UU, tetapi dibutuhkan oleh masyarakat dalam praktik”. Dalam hal ini, Hondius memberi toleransi dengan alasan merupakan: “kebiasaan (gebruik) dalam perdagangan”. Kemudian Stein memberi jalan tengah: “tetap ada perjanjian karena fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen). Karena dengan menerima, konsumen telah setuju”.Walaupun dalam KUHPerdata disebutkan tentang Asas Kebebasan Berkontrak, asas kebebasan berkontrak itu juga penting mengingat dalam perjajian harus terdapat adanya:Unsur esensialia, unsur yang mutlak ada dalam suatu perjanjian (karena ditetapkan melalui UU yang bersifat memaksa). Contoh: “Sebab yang halal”Unsur naturalia, unsur yang tidak mutlak ada (ditetapkan dalam UU yang bersifat mengatur; boleh disimpangi atas kesepakatan para pihak). Contoh: Menyimpang dari Pasal 1491 KUHPerdata, biaya pengiriman ditanggung oleh pembeli (bukan penjual).Unsur aksidentalia, unsur yang tidak ditetapkan oleh UU; boleh ditambahkan atas kesepakatan para pihak. Contoh: Jual beli rumah mencakup AC yang sudah terpasang.Ketentuan yang sangat penting dalam hubungan dengan perjanjian menurut KUHPerdata, anatara lain adalah Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Pentingnya Pasal 1320 KUHPerdata disebabkan dalam pasal tersebut diatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:adanya kata sepakat;adanya kecakapan;terdapat objek tertentu; danterdapat klausa yang halal.Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu:bebas membuat jenis perjanjian apa pun;bebas mengatur isinya;bebas mengatur bentuknya.Kesemuanya dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Timbul pertanyaan apakah perjanjian baku memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) KUHPerdata? Mengenai hal ini terdapat pendapat:Perjanjian baku tidak memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang diatur pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata;Perjanjian baku memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang dimaksud pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.Seperti telah diuraikan, isi perjanjian baku telah dibuat oleh satu pihak, sebagai pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas. Singkatnya tidak terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana menurut asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian, dalam perjanjian baku berlaku adagium, “take it or leave it contract”. Maksudnya apabila setuju silakan ambil, dan bila tidak tinggalkan saja, artinya perjanjian tidak dilakukan.Memperhatikan keadaan demikian, banyaknya isi perjanjian baku yang memberatkan atau merugikan konsumen sebagaimana diketahui lazimnya syarat-syarat dalam perjanjian baku adalah mengenai:Cara mengakhiri perjanjian;Cara memperpanjang berlakunya perjanjian;Cara penyelesaian sengketa; danKlausula eksonerasi.Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama dalam perjanjian baku adalah mengenai klausula eksonerasi (exoneratie klausule exemption clausule). Yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam jenis perjanjian tersebut.Konsep itu sudah tidak sesuai lagi, sebab sudah tidak selaras dengan nafas hukum yang terus berkembang. Dalam hal ini, klausula baku erat kaitannya dengan UUPK. UUPK secara tegas dan detil mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, serta hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Khusus mengenai klausula baku ini UUPK melarang dengan tegas pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang tujuannya merugikan konsumen (vide Pasal 18 UUPK).Secara normatif, pencantuman klausula baku dapat muncul dalam bentuk dokumen atau perjanjian. Keberadaan perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain perkembangan masyarakat modern, dan keadaan sosial ekonomi. Tujuan semula diadakannya perjanjian baku yakni alasan efisiensi dan praktis. Sebagai contoh dapat ditemukan perjanjian baku seperti dalam perjanjian: kredit perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian penitipan barang, perjanjian konsumen dan PT. Telkom, perjanjian konsumen dan PDAM. Kemudian perjanjian antara pemilik hotel dan konsumen, perjanjian konsumen dengan perusahaan chemical laundry, dan sebagainya. Sekadar contoh dalam dunia penerbangan terdapat klausula baku itu, misalnya; “…perusahaan berhak menunda dan/atau menjadwal ulang penerbangan pada hari yang sama tanpa harus melakukan gantirugi dalam bentuk apapun juga atas kerugian yang ditimbulkan karena penundaan dan/atau penjadwalan ulang suatu penerbangan”. Atau “…perusahaan tidak memiliki tanggungjawab atas kerugian yang timbul karena pembatalan suatu penerbangan”. Isi perjanjian demikian sudah tergolong merugikan konsumen. Sebab terdapat klausula pengurangan atau penghapusan tanggungjawab terhadap akibat hukum. Kemudian pembatasan atau penghapusan kewajiban-kewajiban sendiri. Kemudian penciptaan kewajiban yang kemudian dibebankan kepada konsumen. Dengan kata lain, segala bentuk potensi rugi yang mungkin dialami konsumen, meski itu nyata-nyata merupakan kesalahan/kelalaian perusahaan. Konsumen seakan tidak memiliki hak untuk mendapat/melakukan tuntutan ganti rugi. Misalnya soal penundaan keberangkatan atau kehilangan barang berharga yang disimpan di bagasi pesawat. Dalam hal ini, apakah sama sekali tidak ada kewajiban hukum dalam hal pertanggungjawaban kasus tersebut kepada konsumen? Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama dalam perjanjian baku adalah mengenai klausula eksonerasi (exoneratie klausule exemption clausule). Yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam jenis perjanjian tersebut. Menurut hukum yang dimaksud klausula baku itu adalah; “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan diterapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Secara sederhana, klausula baku mempunyi ciri berikut. Sebuah klausula dalam suatu perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha, yang posisinya relatif lebih kuat dibandingkan konsumen; Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi klausula tersebut; Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal; dan Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong kebutuhan. Seperti yang terdapat dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan mengenai klausula-klausula yang dilarang dicantumkan dalam suatu perjanjian baku, yaitu menyatakan: menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.Penjelasan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku, yaitu: “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”.Dengan demikian berlakunya Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan dan menghindarkan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam di dalam kontrak dengan pelaku usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen. Sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa "pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti". Pencantuman klausula baku tersebut dapat berupa tulisan kecil-kecil. Lalu, diletakkan secara samar atau letaknya di tempat yang telah diperkirakan akan terlewatkan pembaca dokumen perjanjian. Sampai saat kesepakatan tersebut terjadi konsumen hanya memahami sebagian kecil dari perjanjian tersebut. Artinya perjanjian tersebut hanya dibaca sekilas, tanpa dipahami secara mendalam konsekuensi yuridisnya. Keadaan ini bakal membuat konsumen sering tidak tahu apa yang menjadi haknya. Mengenai letak, bentuk dan pengungkapan klausula baku dapat juga dilihat dari itikad pelaku usaha sesuai Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kewajiban pelaku usaha adalah "beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya", "memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan".

Tags

WhatsApp Google Map

Safety and Abuse Reporting

Thanks for being awesome!

We appreciate you contacting us. Our support will get back in touch with you soon!

Have a great day!

Are you sure you want to report abuse against this website?

Please note that your query will be processed only if we find it relevant. Rest all requests will be ignored. If you need help with the website, please login to your dashboard and connect to support